Cerpen: Rosyidah Purwo*)
Pagi hari, udara masih terasa dingin. Suara gemericik air selokan terdengar indah. Airnya yang jernih menambah indahnya suasana pagi itu.
Semburat mentari mulai terlihat di ufuk timur. Suara kicau burung dan sesekali katak bersahutan. Petani padi terlihat beberapa sedang mengaliri air.
Hijaunya persawahan membentang sepanjang mata memandang. Benar-benar pagi hari yang sempurna.
“Ibu, aku ngising” suara si Sungsu membuyarkan lamunan seorang ibu muda yang tengah asyik bercengkerama dengan kegiatan di dapur pagi itu.
Cekrek cekrek cekrek, terdengar suara seperti kamera beroperasi.
“Mas, kamu sedang apa?!” tanya ibu muda dari dapur dengan setengah berteriak.
“Sedang membuat karya, Bu!” sahut si Sulung. Ia masuk ke dalam rumah selepas menunaikan hajat alamnya pagi itu.
Entah mengapa, ia sangat suka melakukan rutinitas yang satu itu di selokan belakang rumah. Padahal closet di rumah ada.
“Mas,” sapa ibu muda itu, “mengapa kamu suka sekali buang hajat di selokan?”
Sejak selokan di belakang rumah diperbaiki dengan anggaran dari kementrian perumahan rakyat, aliran air mengalir dengan lebih indah. Lebih deras dan tampak jernih, dibandingkan saat selokan masih alami berupa tanah dan batu-batu kecil yang dikelilingi tanaman rumput-rumput kecil di kanan kirinya.
Setiap hari Minggu dari pagi sampai sore ada saja anak-anak yang bermain air di selokan itu. Bahkan setiap sore hari menjelang Ashar tiba, anak-anak ada saja yang asyik bermain air di sana.
“Kalau ada orang lewat, melihat kamu ngising bagaimana?”
Ibu muda itu tampak penasaran dengan aktifitas ngising anak laki-laki pertamanya itu. Sebelum ada selokan baru, ia selalu ngising di closet rumah. Setelah selokan diperbaiki, rutinitas ngising-nya berubah tempat.
“Lihat, Bu” kata anak sulungnya dengan wajah bahagia. Ibu muda itu menerima benda yang disodorkan si Sulung. Sebuah HP Samsung Galaxi A20 warna biru. Wajah ibu muda itu tersenyum bahagia.
“Ini kamu yang motret, Mas?” tanya Ibu muda itu tertegun, heran dan bangga. Anak sulungnya yang baru berusia sepuluh tahun sudah mampu menghasilkan karya fotografi yang sangat indah.
“Bagus kan, Bu?” tanya si Sulung lagi. Ibunya menjawab dengan anggukan yang sungguh-sungguh.
“Mas, bagaimana kamu bisa mengambil gambar begitu bagus?”
“Ya difoto saja, Bu”
Ibu muda itu masih terheran-heran dengan hasil karya anak sulungnya.
Sebuah foto dengan objek daun merah dipenuhi titik embun di pagi hari, dengan lanskap pemandangan alam pagi hari. Foto sederhana yang terasa indah bagi ibu muda itu.
“Tahu apa nggak, Bu, kenapa aku suka sekali ngising di selokan?”
Perempuan yang dipanggil Ibu tidak menjawab, ia hanya melihat ke arah anak sulungnya. Sambil tanganya sibuk menggerakan sutil di atas wajan.
“Bu aku tuh kalau ngising sambil lihat ke daun-daun yang ada embunnya, seger banget rasanya”. Perempuan yang disapa Ibu mendengarkan dengan seksama.
“Aku kepengin kaya air embun, Bu.”
“Hah?” sahut si Ibu
“Bikin sejuk orang yang ngelihatin, Bu” katanya polos.
“Meskipun tiap hari muncul dan menjelma menjadi air yang suci, ia tak pernah marah pada matahari yang menjadikanya tiada” timpal ibunya.
“Iya, aku mau kaya gitu, Bu”
Mendapat juara 3 dalam lomba menulis fiksi mini genre real oleh penerbit SIP Publishing dan sedang proses dibukukan dalam antologi penulis fiksi mini genre real SIP Publishing
Purwokerto, 27 Februari 2023
Ceritanya ringan dan mengalir 👍
BalasHapus