Langsung ke konten utama

Melodi Gamelan di Sepertiga Malam*)

 

sumber gambar dari NU Online

Cerpen: Rosyidah Purwo

Pekatnya malam dini hari tidak membuat sepasang suami istri itu tetap lelap dalam tidur mereka Bangun di sepertiga malam adalah kebiasaan mereka.

Meskipun kecil dan sederhana, rumah baru yang kami tempati sangatlah nyaman. Rumah permanen dengan lantai keramik warna putih dipadu padan dengan warna merah hati pada bagian teras depan rumah. Cat berwarna krem mempercantik rumah kami.

Bekerja sebagai guru di sekolah swasta dengan gaji tujuh ratus ribu rupiah setiap bulan ditambah dengan penghasilan suami dari membuat roti yang dititipkan di kantin-kantin sekolah, akhirnya cukup untuk membuat rumah sederhana.

“Dinda, mulai hari ini kita menempati rumah sendiri, sederhana, tapi cukup nyaman.”

“Iya, Mas, tidak apa-apa. Meski sederhana ini adalah hasil jerih payah sendiri” meskipun sebenarnya ia tidak menerima dengan sepenuh hati konsep rumah barunya. Tapi apa mau dikata, nasi sudah menjadi bubur, rumah sudah berdiri tegak.

***

Musik gamelan terdengar indah di telinganya. Pada sepertiga malam itu, ia terbangun kembali untuk mengambil air wudlu.

Air kran di kamar mandi gemericik terdengar jatuh dari mulut kran yang ia nyalakan. Ke dua tangan ia basuh dengan seksama. Ibu jari sampai pergelangan tangan ia usap-usap dengan seksama.

Gerakanya berpindah untuk berkumur-kumur, lalu menghirup air ke dalam hidung kemudian dikeluarkan dengan perlahan. Lalu ia basuh wajah putihnya dengan perlahan. Tampak bibirnya mengucapkan bait-bait doa indah. Ia haturkan untuk sang pencipta langit dan bumi yang telah mengeluarkan air dari dalam bumi tanpa bantuan apapun.

Sampai pada basuhan terakhir. Ia julurkan ke dua tangan, telapak tangan menengadah. Bait doa ia lantunkan perlahan. Ia haturkan dengan sepenuh hati.

Dengan membawa segenggam air putih yang ia ambil dari kran ia masuk ke dalam kamar. Terlihat suami tercintanya masih tertidur lelap. Ke dua telapak tangan ia dekatkan pada bibir mungilnya. Selesai melafalkan doa ia cipratkan air suci itu pada kedua wajah suaminya.

Merasa ada sesuatu yang dingin menghampiri wajahnya, ia terbangun.

“Ambil air wudlu, Mas. Dinda tunggu di kamar sholat” katanya lembut.

Laki-laki yang dipanggil Mas, segera turun dari ranjang.

“Mas, dengarkan itu, orang-orang sedang pada main gamelan lagi” katanya.

Laki-laki itu samar-samar terlihat mendengarkan sesuatu yang diucapkan oleh istri tercintanya.

“Oh, itu warga sedang Latihan karawitan,” jawabnya ringan.

Sang istri manggut-manggut percaya dan Bahagia mendengarnya.

Selesai menunaikan sholat malam, sepasang suami istri itu mengambil mushaf Al Quran. Dengan suara indah mereka bersahut-sahutan membacanya.

“Mas, dengarkan itu, suara serulingnya merdu sekali” kata istrinya dengan wajah ceria. Sambil ia memperbaiki posisi mukena, sambil seksama ia mendengarkan lantunan suara seruling ditiup.

“Dinda, dibaca mushafnya” kata suaminya.

“Iya, Mas, Dinda geregetan sama suaranya, Mas, indah bangeeeet…” katanya emosional.

 ***

Sudah enam bulan lamanya sepasang suami istri itu menempati rumah barunya.

“Mas, sudah hampir satu pekan ini Adinda tidak mendengar suara gamelan ditabuh ataupun suara seruling yang ditiup…” kata sang istri pada suatu kesempatan di waktu berbuka tiba.

Terlihat laki-laki yang dipanggil Mas, canggung untuk memberi jawaban. Ia sedikit tersedak atau pura-pura tersedak.

“Mmm…dari awal kita menempati rumah ini, tidak ada suara apa-apa, Dinda…”

Perempuan yang dipanggil Dinda itu tertegun, kaget, tapi sedetik kemudian tenang.

“Jadi, yang Adinda dengar itu suara apa, Mas?” tanyanya tenang dan datar.

Suara hujan yang jatuh menimpa atas rumah, menemani sepasang suami istri itu menikmati santap berbuka.

*)cerita ini ditulis berdasarkan kisah nyata penulis


Masuk dalam naskah yang lolos kurasi dari 383 naskah yang masuk dalam lomba menulis naskah fiksi mini genre horor oleh penerbit SIP Publishing 2023


Purwokerto, Maret 2023

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Layung

sumber gambar: SW Puspakurnai Pentigraf: Rosyidah Purwo Eyang Wardem berpesan kepada cucu tercintanya. Bunyi pesan itu adalah jangan keluar rumah saat layung jembrang atau layung sembrana sedang keluar. Kalau orang masa kini menyebutnya dengan istilah lembayung senja. Alasnnya sungguh aneh, adalah agar tidak terkena penyakit belek. Sebagai cucu yang baik, ia mengikuti saja kemauan Eyang tercintanya. Ia mengetahui tentang penyakit belek ini ketika duduk di bangku kelas empat sekolah dasar. Pak guru menyampaikan bahwa penyakit belek penyebabnya ada beberapa macam. Salah satunya adalah karena virus dan bakteri. Beberapa penyebab lain tidak ada kaitanya sama sekali dengan fenomena alam yang maha indah itu. Jadi penyakit belek yang pernah ia derita saat masih kecil dulu, tidak ada kaitannya dengan Layung.  Karena saking indahnya lembayung senja petang hari itu, si cucu lupa dengan nasehat Eyang. Di halaman mushola tempat ia ngaji Iqro dan suratan pendek, ia berdiri terpukau melihat indahn

Ngising

Cerpen: Rosyidah Purwo*)   Pagi hari, udara masih terasa dingin. Suara gemericik air selokan terdengar indah. Airnya yang jernih menambah indahnya suasana pagi itu.  Semburat mentari mulai terlihat di ufuk timur. Suara kicau burung dan sesekali katak bersahutan. Petani padi terlihat beberapa sedang mengaliri air.  Hijaunya persawahan membentang sepanjang mata memandang. Benar-benar pagi hari yang sempurna. “Ibu, aku ngising ” suara si Sungsu membuyarkan lamunan seorang ibu muda yang tengah asyik bercengkerama dengan kegiatan di dapur pagi itu.  Cekrek cekrek cekrek, terdengar suara seperti kamera beroperasi.  “Mas, kamu sedang apa?!” tanya ibu muda dari dapur dengan setengah berteriak. “Sedang membuat karya, Bu!” sahut si Sulung. Ia  masuk ke dalam rumah selepas menunaikan hajat alamnya pagi itu.  Entah mengapa, ia sangat suka melakukan rutinitas yang satu itu di selokan belakang rumah. Padahal closet di rumah ada.  “Mas,” sapa ibu muda itu, “mengapa kamu suka sekali buang hajat di sel

PUJI-PUJIAN; BUKAN TENTANG BAIK ATAU TIDAK, TAPI TENTANG KEBUTUHAN

  https://indonesiainside.id/risalah/2019/12/19/membawa-hp-saat-salat-berjamaah Banyak kisah di dalam masyarakat tentang seputar -jeda waktu menunggu imam datang- saat sholat jamaah di dalam masjid. Ada yang menggunakannya untuk melantunkan puji-pujian, ada yang menggunakanya untuk ngobrol asyik, ada yang menggunakannya untuk merenungi keagungan Allah SWT, ada yang menggunakanya untuk berselancar dengan dunia maya (meski tidak mayoritas, tapi hampir banyak yang melakukanya). Ada yang menggunaknya untuk nge- game  (meski tidak banyak). Ada pula sebuah kisah tentang orang yang dikafirkan oleh temannya sendiri karena melantunkan puji-pujian di dalam masjid saat menunggu imam datang untuk jamaah shalat. Ada pula kisah tentang seorang jamaah dengan enggan memagang mushaf sambil menunggu sholat jamaah didirikan walau tidak dibaca. Banyak pula kisah tentang mereka yang mampu menyelesaikan membaca quran sampai beberapa halaman. Apapun kisah yang muncul di tengah masyarakat, semua ini nyata dan