Langsung ke konten utama

Rose

sumber gambar: kisah-cinta-wildan-mukhollad-di-pesantren-ruangobrol
Cerpen Oleh: Rosyidah Purwo

    Masih teringat bagaimana kawan lama saya yangg satu ini sangat takut dengan pisau. Tiap kali ada jadwal memasak dalam satu pekan, ia selalu menghindari pisau. Ia akan berteriak saat melihat orang memegang pisau. Entah karena apa... 

    


    
    Memasak adalah kegiatan wajib yang dilakukan oleh santri putri. Tiap santri mendapat jatah memasak 1 pekan 1 kali. Kegiatan memasak adalah saat paling dinanti karena saat itu kami para santri putri bisa melirik-melirik para kang-kang yang mengantar kayu bakar ke dapur. Ha ha ha 

    O iya, kami memasaknya menggunakan tungku besar yang memiliki tiga kepala. Bisa dibayangkan, bagaimana banyaknya jumlah masakan yang harus kami selesaikan. Bangun pukul 01.00 wib dini hari dan harus selesai sebelum kawan-kawan santri berangkat kuliah di pukul 06.30 wib Yah, pesantren kami bersekatan dengan kampus. Unnes namanya.

“Mb Rose tolong akuuuuu!” teriaknya centil dan cukup manja. 

    Cukup membuat saya bingung, dia meminta tolong pada siapa? hati saya bertanya. Sepertinya ia meminta tolong kepada saya. Tapi panggilan saya bukan Rose.
    
    Saya menengok ke belakang, hanya ada Suhanti, santri junior yang cerdas dan cantik. Ia berjalan dengan kaki berjinjit di belakang saya sambil memegang pisau kecil. Ah ada-ada saja anak ini. 

    Apakah Suhanti panggilanya Rose? Tapi ia terlihat sedang meledek Mbak Muna Sepertinya. Mbak Muna meminta tolong kepada saya. 

    Itulah panggilan Rose untuk pertama kali disematkan pada diri saya. Atas alasan apa ia memanggil saya Rose, saya tidak tahu, dan anehnya saya nyaman saja dengan panggilan itu. Anehnya lagi, virus Muna latah diikuti oleh santri yang lain. Hampir semua santri putri maupun beberapa santri putra ikut-ikutan latah dengan panggilan Rose. Oh dunia! 

    “Mbak Muna, jangan eror!” teriak Suhanti. 

    Seorang santriwati asal Blora. Ia adalah pendatang baru namun sosialisasinya cangat cepat. Sehingga dalam waktu satu bulan ia sudah bisa akrab dengan Mbak Muna. 

    Ya, Mbak Muna. Senior saya, teman satu kamar yang takut dengan pisau. Usianya menginjak 29 tahun, namun masa kuliah tak kunjung usai. Ah, mungkin ia frustasi, atau ada sesuatu yang lain? 

    O iya, Ia pernah menyukai salah satu santri putra yang menjadi idola, Ubed namanya. Ha ha kalau mengingat hal ini ingin tertawa saja rasanya. Hal-hal aneh dan remeh temeh tapi sangat berharga bagi mbak Muna ditunjukan olehnya mana kala kang Ubed sedang menampakan wujudnya di area pondok putri.

    Kang Ubed panggilanya. Nama panjangnya adalah Sirojudin Ubaidillah. Ia satu tahun di atas saya. Senior saya juga berarti kan? Banyak santri putri yang jatuh hati padanya, bukan saya tetunya, karena saat itu saya sedang jatuh hati pada orang lain. Makhluk ciptaan Tuhan yang maha indah. Oh betapa indahnya ciptaan-Mu. 

    Suhanti terlihat sengaja mengayun-ayun pisau kecil. Mb Muna teriak-teriak tak karuan. Bantal-bantal di kamar, selimut berantakan tak karuan juga jadinya. 

“Mb Rose, Mb Roseeee, Suhanti nakaaaalll…!!” teriaknya manja. 

Sungguh manja. Geregetan saya kalau mendengar logat bicaranya. 
    
    Ia adalah gadis dari keluarga miskin dari kota ukir, Jepara Bapaknya berprofesi sebagai penggali makam. Ibunya adalah ibu rumah tangga biasa.   Ia memiliki rambut hitam panjang sebahu, kulitnya sawo matang matanya seperti mata kucing yang selalu mengeluarkan air mata di antara pelupuk mata rebes nya 

    Hobinya makan nasi basi dibubuhi garam sedikit. Saya tidak paham mengapa ia suka makan nasi basi. Padahal kalau mau makan nasi segar ya baru di masak sungguh tersedia dengan sebaik-baiknya Entahlah aneh kelakuan senior saya yang satu ini.

    Ia juga memiliki hobi ngiler, kalau tidur bau ilernya aduhaiii. Ia hobi membaca dzikir panjang selesai solat. Ia hobi memanggil keras-keras kang Ubed Ia hobi puasa mutih.

    Puasa mutih adalah puasa tanpa makan gula dan minyak. Jadi yang masuk dalam tubuh hanya nasi putih dengan garam saja dan lauk serta air putih tawar. 

    Tahun pertama masuk di pesantren ini saya langsung naik kelas tiga. Wow, akselerasi!! Kemudian satu tahun berikutnya saya naik kelas empat. Satu tahun lagi, kalau saya lolos naik kelas, akan naik kelas lima. Kelas paling tinggi dan banyak digandrungi oleh kebanyakan santri. 

    Akan tetapi tidak mudah masuk kelas lima.   Mudah tidak mudah si sebenarnya. Cukup bisa membaca kita kuning ‘Usfuriyyah atau fathul qorib, bisa berbahasa arab. Tamat jurumiyah dan hafal setengah nadzlom imrithi, bisa ‘ilal, nahwu dan shorof paham, maka bisa masuk kelas lima.

    Hanya sedikit santri yang bisa masuk sampai kelas lima. Setelah masuk kelas lima maka akan dikader menjadi guru di kelas satu sampai kelas empat Rupa-rupanya saya termasuk yang beruntung, satu tahun berikutnya saya dinyatakan naik kelas lima Duh bahagianya. 

    Saya terpilih untuk mengisi kajian kitab ‘usfuriyah di kelas dua. Baru satu semester perjalanan menjadi guru ‘usfuriyah, panggilan wisuda datang.
Mbak Muna… 

***    

    Pemilihan pengurus pondok pesantren memasuki reorganisasi. Pengurus lama akan menjadi penasehat. Pengurus baru akan diminta untuk aktif mengelola kegiatan dan program-progam di pondok.

    Saya terpilih menjadi seksi pendidikan santri putri. Tugas yang berat menurut saya. Salah satu tugasnya adalah memastikan kegiatan sorogan dan hafalan kitab di Ahad pagi berjalan.

    Dengan modal percaya diri dan “memiliki hati kejam” buah dari bimbingan skripsi dari dosen, saya terima saja mandat baik itu. Satu bulan, dua bulan, enam bulan sampai hampir dua semester saya berhasil melaksanakan mandat mulia itu 


    Tiap Ahad pagi, mbak-mbak santri tidak boleh ada yang tidur, saya harus ngecek tiap kamar untuk memastikan semua santri putri terjaga dari malas-malasan dalam enam puluh menit 


    O iya saat itu pesantren baru memiliki sembilan belas kamar dengan tiap kamar dihuni oleh lima orang santri. Enam puluh menit. Dari 06.30 waktu Indonesia bagian Barat sampai pukul 07.30 waktu Indonesai bagian Barat aula berdengung-dengung seperti suara lebah yang beterbangan mencari mangsa karena sarangnya dihancurkan dengan kejam.

    
    Mbak-mbak santri yang masih tertidur karena lelah selesai tugas memasak, saya ketuk kuat pintu kamarnya, kalau tidak bangun saya masuk untuk membangunkan dengan suara keras, tegas dan kejam. Banyak yang tidak menyukai saya, tapi ini adalah tugas negara yang amat mulia.

    
    Malam hari selesai Maghrib, pak lurah pondok mengadakan brifing pengurus inti. Karena saya bukan pengurus inti, maka saya tidak dilibatkan. Aula letaknya bersebelahan dengan kamar saya.  Apapun percakapan yang terjadi, bisa disimak dengan baik sekali.

“Kalau diperhatikan, kegiatan ngaji pagi hari Ahad mundur teratur, ada apa ini!’ 

“Coba belajar dari Mbak Rosydiyah, ia bisa sukses membangun kultur belajar Ahad pagi!” 

“Kalau kegiatan ini mundur teratur, bagaimana masa depan santri nanti!” Pak lurah pondok berbicara Panjang lebar dan serius. 

    Semua pengurus inti terdiam seribu bahasa. Meskipun badanya kecil, powernya minta ampun dahsyatnya Kecoa saja bisa dibuat terdiam saat ia melintas ke mana-mana Sirojudin Ubaidillah namanya. 

    Maka tak heran apabila banyak santri putri yang keoencut padanya. Manis wajahnya, tegas orangnya, tampan juga sebenarnya. Tapi sayang saya tidak tertarik pada nya. 

“Coba belajar dari mbak Rosydiyah bagaimana cara menghidupkan kegiatan sorogan Ahad pagi!” 

“Sebentar lagi Mbak Rsoydiyah wisuda, kalau tidak ada yang melanjutkan, bagaimana?!” 

    Terdengar sedikit suara dengungan di aula. Sepertinya para pengurus inti, penentu masa depan pesantren yang mulia ini mulai tersentuh dengan nasehat galak pak lurah pondok 

“Kang Ubed, ngapunten…tidak ada yang berani kaya mbak Rose” rupa-rupanya salah satu pengurus inti menimpali 

“Mbak Rose niku sinten?” kang Ubed atau pak lurah pondok menimpali. 

“ya Mbak Rosydiyah niku, Kang” salah satu pengurus inti yang lain menimpali. Virus Muna rupa-rupanya belum hilang juga

 ***

    Akhir-akhir ini mbak Muna jarang terlihat di pesantren. Sejak ia selesai diwisuda, ia terlihat lebih bercahaya. Ia juga sudah sangat jarang mengeluarkan jeritan pisau. Meskipun sesekali ledekan pisau muncul dari mulut nyinyir teman-teman santri. Ia tidak sehisteris waktu dulu 

 “Mbak Muna sedang studi S2” kata Mbak Ndoh, sesepuh di pesantren ini. 

    Banyak yang tertegun, takjub, heran mendengar kabar ini. Mbak Muna study S2? Termasuk saya juga orang yang dibuat gumun. Maklumlah, study S2 bukan hal kaleng-kaleng pada saat itu.

    2007 adalah tahun di mana istilah S2 merupakan hal asing dan sekaligus sesuatu yang wow bagi kebanyak orang. Konon biayanya sangat mahal.

“dibiayai oleh dosen bimingannya” kata MBak Ndoh lagi.

    
    Oooooo serentak mulut-mulut mungil kami ber ooo takjub. Kok bisa yah dosen mau membiayai kuliah S2 nya batin saya. Saya pikir saya lebih baik dari dirinya Saya lebih tertata lebih bersih lebih titik titik titik titik dan lebih lebih yang lainya.  

    Saya lupa kalau orang beruntung itu kadang lebih baik nasib hidupnya dari orang yang cerdas pandai lagi disiplin.

“Mbak Rose, aku mau pindahan…” kata mbak Muna menghambur dari pintu kamar. Kami (Saya, Faro, Hindun, dan Farichah) yang sedang tadarus after Maghrib, dibuat terkejut dengan kabar ini.

    Seperti biasa gayanya adalah cuek bebek dengan penghuni kamar. Apa yang akan ia lakukan tidak pernah memerhatikan penghuni kamar sedang apa.

    Dengan gaya aroganya ia ambil semua barang-barang miliknya. Baju-baju, buku-buku lapuknya, kitab-kitabnya yang tidak rapi ia masukan dengan sembarangan ke dalam satu koper besar warna hitam Terlihat acak-acakan sekali Oh Mba Muna.

“Pindahan ke mana, Mbak?” tanya kami serentak, dengan wajah masih saling bertatapan satu sama lain. Kami masih tidak percaya 

“Emmmm itu mau ke bawah, ke rumah dosen saya.” 

    Kami belum paham apa maksudnya.   Rupa-rupanya yang dimaksud ke bawah adalah daerah Pedurungan,  Di Pedurungan ini tempat tinggal dosen yang katanya sebagai tempat tinggal Mbak Muna.  Mulai malam ini sampai hari yang tidak tahu kapan ditentukan akhirnya.

“Mbak Rose, Mbak Faro, Mbak Hindun, Mbak Farichah saya mau pamitan…saya mau kuliah S2. Saya kuliah sambil bantu-bantu di rumah dosen saya, Mbak” Kami manggut-manggut sambil tidak percaya dengan kabar ini. 

“Mbak Muna mau pindahan?” tanya Faro dengan senyum tulusnya. Mbak Muna menjawab dengan anggukan. Tidak ada perpisahan tidak ada say good bye, Mbak Muna melenggang meninggalkan kamar. Kami mengela nafas panjang… 

“Mbak Roseeeeee, I love you!” terdengar suara Mbak Muna dari balik jendela kamar.   

***

    Saya kembali ke kampung halaman. Empat tahun setelah wisuda, tidak ada kabar apa-apa dari kawan-kawan kampus maupun pesantren.

    Memenuhi panggilan cita-cita untuk menajdi guru SMA di kampung halaman. Saya diterima bekerja di sebuah sekolah dasar swatsta favorit di Banyumas. Lumayan, separuh dari cita-cita terpenuhi yaitu menjadi guru meskipun bukan guru SMA.

    Sekolah ini termasuk sekolah yang paling maju pada masanya. Bayangkan karywan TU saja ada enam. Walau belum familier seperti sekarang, akses internet sudah disediakan.

    Untuk menghilangkan jenuh selepas bekerja, saya menyalakan TV. Saya pilih chanel TRANS TV.  Di sana sedang berlangsung acara relity show. Mak dek, samar ragu tapi nyata, Mbak Muna!! 

    Mengenakan wig warna pink dengan baju teng top warna biru dan rok biru di atas lutut serta sepatu high hil putih 

“Mbak Rose Mbak Rose Mbak Rose” Mungkin saya sedang bermimpi.


                                                                                           

                                                                                            Purwokerto
                                                                                           Sudut rumah cinta
                                                                                           4 Maret 2023
                                                                                           22.58 wib

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Layung

sumber gambar: SW Puspakurnai Pentigraf: Rosyidah Purwo Eyang Wardem berpesan kepada cucu tercintanya. Bunyi pesan itu adalah jangan keluar rumah saat layung jembrang atau layung sembrana sedang keluar. Kalau orang masa kini menyebutnya dengan istilah lembayung senja. Alasnnya sungguh aneh, adalah agar tidak terkena penyakit belek. Sebagai cucu yang baik, ia mengikuti saja kemauan Eyang tercintanya. Ia mengetahui tentang penyakit belek ini ketika duduk di bangku kelas empat sekolah dasar. Pak guru menyampaikan bahwa penyakit belek penyebabnya ada beberapa macam. Salah satunya adalah karena virus dan bakteri. Beberapa penyebab lain tidak ada kaitanya sama sekali dengan fenomena alam yang maha indah itu. Jadi penyakit belek yang pernah ia derita saat masih kecil dulu, tidak ada kaitannya dengan Layung.  Karena saking indahnya lembayung senja petang hari itu, si cucu lupa dengan nasehat Eyang. Di halaman mushola tempat ia ngaji Iqro dan suratan pendek, ia berdiri terpukau melihat indahn

Ngising

Cerpen: Rosyidah Purwo*)   Pagi hari, udara masih terasa dingin. Suara gemericik air selokan terdengar indah. Airnya yang jernih menambah indahnya suasana pagi itu.  Semburat mentari mulai terlihat di ufuk timur. Suara kicau burung dan sesekali katak bersahutan. Petani padi terlihat beberapa sedang mengaliri air.  Hijaunya persawahan membentang sepanjang mata memandang. Benar-benar pagi hari yang sempurna. “Ibu, aku ngising ” suara si Sungsu membuyarkan lamunan seorang ibu muda yang tengah asyik bercengkerama dengan kegiatan di dapur pagi itu.  Cekrek cekrek cekrek, terdengar suara seperti kamera beroperasi.  “Mas, kamu sedang apa?!” tanya ibu muda dari dapur dengan setengah berteriak. “Sedang membuat karya, Bu!” sahut si Sulung. Ia  masuk ke dalam rumah selepas menunaikan hajat alamnya pagi itu.  Entah mengapa, ia sangat suka melakukan rutinitas yang satu itu di selokan belakang rumah. Padahal closet di rumah ada.  “Mas,” sapa ibu muda itu, “mengapa kamu suka sekali buang hajat di sel

PUJI-PUJIAN; BUKAN TENTANG BAIK ATAU TIDAK, TAPI TENTANG KEBUTUHAN

  https://indonesiainside.id/risalah/2019/12/19/membawa-hp-saat-salat-berjamaah Banyak kisah di dalam masyarakat tentang seputar -jeda waktu menunggu imam datang- saat sholat jamaah di dalam masjid. Ada yang menggunakannya untuk melantunkan puji-pujian, ada yang menggunakanya untuk ngobrol asyik, ada yang menggunakannya untuk merenungi keagungan Allah SWT, ada yang menggunakanya untuk berselancar dengan dunia maya (meski tidak mayoritas, tapi hampir banyak yang melakukanya). Ada yang menggunaknya untuk nge- game  (meski tidak banyak). Ada pula sebuah kisah tentang orang yang dikafirkan oleh temannya sendiri karena melantunkan puji-pujian di dalam masjid saat menunggu imam datang untuk jamaah shalat. Ada pula kisah tentang seorang jamaah dengan enggan memagang mushaf sambil menunggu sholat jamaah didirikan walau tidak dibaca. Banyak pula kisah tentang mereka yang mampu menyelesaikan membaca quran sampai beberapa halaman. Apapun kisah yang muncul di tengah masyarakat, semua ini nyata dan