Langsung ke konten utama

Dua Bocah Berdaun Pakis

 

sumber gambar: https://id.pngtree.com/

Suara adzan sholat isya berkumandang. Dua bocah kecil dengan pakaian serba dekil, lampu senter terikat di kepala dengan posisi menghadap ke depan, sedang sibuk melihat aliran sungai kecil di depan sebuah rumah dengan ditemani gerimis besar dan sesekali kilat menyambar.

Cukup basah baju mereka diterpa tetesan gerimis yang kian membesar. Jeder! terdengan suara petir menggelegar memecah sunyinya malam. Terlihat dua bocah kecil itu berjingkat kaget. Kemudain berlari-lari kecil ke arah serumpunan pohon pakis kecil yang tumbuh di sepanjang tebing arah air sugai mengalir.

Si adik kecil mengekor di belakang setelah beberapa saat memerhatikan sang kakak. Kemudian dengan hati-hati salah satu dari mereka memetik kasar daun pohon pakis kecil. Kaki telanjang mereka terlihat penuh daki dan licin.

Pertama ia memetik untuk diserahkan kepada adik kecilnya kemudian ia memetik lagi untuk diri sendiri. Dengan memerhatikan penuh seksama, adik kecil meniru gerakan sang kakak. Sepucuk pohon pakis mereka selipkan di daun telinga.

Aja decopot angger udane urung mandek ya!” seru sang kakak. Si adik mengangguk patuh. Ingus terlihat keluar dari lobang hidung mereka. Kemudin dengan seksama dan hampir bersamaan mereka menghirupnya kembali.

Jeder! terdengan kembali suara petir menyambar. Dengan berlari panjang-panjang mereka duduk di emperan rumah yang tidak jauh dari tempat mereka berada. Terlihat rumah itu sepi, meskipun lampu di dalam rumah terlihat menyala. Di bangku kayu panjang yang dicat warna hitam dengan pasangan meja kayu panjang dengan tatakan triplek warna putih mereka melepas lelah dan menghilangkan rasa takutnya. Senter dilepas, kemudian diletakan di atas meja.

Lah, ko si agi pada ngapa neng kene?” sapa seorang Bapak yang tak lain adalah pemilik rumah tersebut.

Dengan senyum malu-malu dua bocah kecil itu menjawab, “nunut ngiub nggih, Mas Torik?” jawabnya dengan sopan. Si Bapak yang di panggil Mas Torik memerhatikan seksama dua bocah kecil di hadapanya. Usia dua bocah itu pantaran enam dan delapan tahun

Si Bapak kemudian masuk, tak lama kemudian keluar dengan membawa dua potong baju anak laki-laki yang lebih baik dari yang mereka kenakan.

Ganti disit klambine, ya. Ayuh mlebu kamar mandi” kata Bapak yang disapa Mas Torik itu.

Dengan patuh dua bocah kecil itu masuk, dengan mengekor di belakang si Bapak pemilik rumah. Terlihat di dalam dua anak kecil tengah asyik dengan buku-buku belajar mereka. Mereka adalah anak dari bapak tersebut. Umur mereka tidak jauh berbeda dengan dua bocah kecil pemakai daun pakis.

Wis maem apa urung? tanya pak Torik.

Dereng, Mas” jawab mereka kompak dan lemah dengan kepala tertunduk

Ibune apa ora masak? Tanya si Bapak lebih lanjut.

“Masak, Mas, tapi mpun telas” jawab salah satu dari mereka.

Terlihat si Bapak melihat sekilas pada sesosok Ibu muda yang sedang serius mendampingi belajar dua anak mereka.

Bu, nyuwun tulung, diparingi maem, malasi” kata si Bapak kepada perempuan yang dipanggil Ibu yang tak lain adalah istrinya.

***

            Pak Torik dengan dua bocah kecil terlihat terlibat dalam pembicaan asyiknya.

Apa ko ora sekolah?”

“Sekolah, tapi teng griya. triose ken sekolah olen. Dadose teng griya”. Sang kakak terlihat lebih aktif menjawab pertanyaan dari si Bapak.

Pak Torik sedikit mengeluarkan tawa kecilnya mendengar kata online diucapkan oleh bocah kecil itu. Dengan pelafalan yang tidak sempurna dan logat Banyumasan yang sangat kental membuat kata online yang diucapkan oleh bocah kecil itu tanpa menggunakan huruf n terdengar lucu.

“Nang, ngesuk maning, angger dikon neng mamake ngarah iwak wengi-wengi aja gelem…ngarah iwak pantese ya awan-awan…

Nggih, Mas” jawab si kakak patuh.

Terdengar getar HP dari saku jas yang dikenakan Pak Torik. Ia menghentikan percakapan dengan dua bocah kecil itu. Kemudian mengambil lalu membukanya. Terlihat satu pesan di whatsapp muncul.

Dua bocah kecil itu memerhatikan dengan seksama tanpa berkedip. Mata mereka memerhatikan si Bapak, yang mereka sapa dengan Mas Torik.

Dua bocah kecil itu menatap lekat wajah Pak Torik, tampak raut muka bingung di wajah Pak Torik.

Ana apa, Nang?” tanyanya.

Dua bocah itu saling berpandangan. Seperti menunjukkan isyarat siapa yang akan berbiacara kepada Mas Torik. Akhirnya si Kakak yang lagi-lagi angkat bicara. 

Nuwun sewu, Mas, HP ne sae. Regane sepinten?”

Pak Torik tampak tertegun mendengar pertanyaan dari dua bocah itu. Pertanyaan itu menimbulkan barmacam tanya di benaknya.

Ko si angger sekolah online kepriwe?” tanya pak Torik, mengabaikan menjawab pertanyaan harga HP dari dua anak kecil itu.

Angger gadeh arto nggih mamake tumbas pulsa” jawab si Kakak polos. Terlihat pak Torik mengernyitkan dahi, kemudian berlanjut dengan sebuah pertanyaan.

“Pulsa apa kuota?’

“Pulsa, Mas, sanes kuota” tanya si Kakak dengan nada masih polos.

Kemudian pak Torik masuk ke dalam rumah dan keluar lagi dengan membawa sebilah HP merek Samsung tipe Caramel GT-E1272. Kemudian si Bapak mengeluarkan ke dua buah HP miliknya dan meletakanya di meja putih tempat mereka asyik duduk dan ngobrol penuh arti. Tanpa ditanya terlebih dahulu si Kakak langsung menimpali, “Mamake kulo angger seg oline kalih HP sing kados niki, Mas,” jari telunjuk tangan kanannya menunjuk pada HP Samsung tipe Caramel GT-E1272, “tapine…tapine…anu tulisane Nokia” katanya renyah dengan gaya bicara agak terputus putus.

Pak Torik manggut-manggut sambil tangan kanannya memegang dagu, “Mamake SMS bu Guru?” tanya si Bapak seolah paham dengan masalah kedua bocah cilik itu.

Nggih, Mas” jawab si Kakak.

“Terus?”

Angger Bu Guru njawab SMSe Mamake, ya Mamake maring sekolahan”.

Terlihat raut wajah si Bapak menampakan bingung, “ngapa maring sekolahan?” lanjutnya.

Mendet tugase kulo, Mas,” jawab si Kakak antusias merasa diberi perhatian oleh Pak Torik.

“Foto kopian?” lanjut Pak Torik kemudian. Dijawab dengan anggukan oleh ke dua bocah kecil itu.

Angger mpun mundut fotokopian, kadang-kadang tek kerjakaken kadang-kadang mboten. Jere Bu Guru kulo triose mboten munggah kelas angger tugase oline mboten dikerjakaken” sergah si Kakak dengan ceria dan tanpa beban.

Pak Torik sedikit tertegun melihat ekspresi wajah polos kedua bocah kecil itu. Sambil kepalanya manggut-manggut dengan ujung jari telunjuk dimasukan ke dalam mulut bagian kanan digigit oleh gigi taringnya yang putih bersih.

Ia berpikir tentang tugas online kedua buah hatinya yang sebarek banyaknya dan membuat pening kepala orang tuanya.

Kopiah putih yang ia kenakan hampir terlepas, kemudian ia mengembalikanya pada posisi semula. Ia melihat jam tangan merek eiger yang dikenakan di tangan kanannya. Ia terkaget dan refleks ia menengok ke arah dua bocah kecil yang sedang duduk santai sambil melihat tetesan hujan dari atap rumah yang terlihat semakin mengecil.

Sesaat ia juga melihat ke dalam rumah, mengamati keadaan di dalam. Sudah tidak terdengar suara anak-anaknya dan istrinya. Ia masuk ke dalam, didapati anak-anak dan istrinya sudah tidur. Kemudian ia keluar kembali, untuk melihat dua bocah kecil itu.

Nang, wis jam tengah sepuluh, ko oara bali?”

Angger kulo wangsul mengkin adine kulo maem kali nopo? Kulo dereng angsal iwak, Mas” seperti ada sebongkah batu yang menggajal dikerongkongan Pak Torik mendengar jawaban dari dua bocah kecil itu. Terlihat matanya berkaca-kaca.

Kemudian ia merogoh saku jas hitamnya lalu mengeluarkan tiga lembar uang sepuluh ribuan.

Kie nggo ko, ngko paringna Mamake kon nggo tumbas lawuh. Mayuh bali, danter mas Torik.

***

Jarak rumahnya dengan rumah kedua bocah kecil itu tidak terlalu jauh sebenarnya, hanya memerlukan waktu dua menit menggunakan kendaraan bermotor dengan kecepatan 20 km per jam. Akan tetapi karena jalan yang dilalui menanjak dan berbatu, dengan kanan kiri adalah kebun-kebun bambu dengan rumpun yang lebat serta pencahayaan lampu yang sangat kurang,  Pak Torik memutuskan untuk mengantar mereka.

Sampai di ujung jalan yang bisa dilalui sepeda motor, Pak Torik menghentikan laju sepeda motornya, kemudian meminta mereka turun. Terlihat dua bocah kecil itu bersalaman dengan mencium tangan kanannya. Kemudian mereka berlari menyusuri jalan setapak.

Cahaya dari lampu senter cukup memberi penerang untuk mereka. Terlihat mereka memelankan langkah kaki dan berbalik melihat ke arah Pak Torik.

“Mas, klambine tek balekna ngesuk nggih?!” teriak dua bocah kecil itu dari kejauhan sambil kedua telapak tangan dalam posisi menangkup terbuka di mulut mereka.

Ora susah, nggo ko bae!” jawab Pak Torik tak kalah keras. Kemudian bergegas menghidupkan sepeda motornya untuk pulang.

Sejenak ia memerhatikan dua bocah kecil itu yang sedang berlari degan kali telanjangnya menyusuri jalan setapak menuju rumah mereka. Jalan setapak yang licin karena terguyur hujan cukup lebat.

Saat hendak menghidupkan sepeda motornya, ia dikagetkan oleh sebuah tepukan di bahu kanannya. Ia berpaling ke arah datangnya tepukan yang cukup membuat dirinya kaget.

“Ealah, Pak RW” sapa Pak Torik ramah.

Seperti sudah memahami kondisi, orang yang di sapa pak RW berujar, “Mas, kae toli bocah wis ora perlu durusi. Wong tuane be ora gelem ngurusi koh. Jorna bae, Mas Torik, dadi tuman”.

   Bagai ada palu godam menghantam dadanya mendengar ujaran pak RW.

Mentari esok masih ada, tetaplah semangat untuk menapaki hari-hari kalian esok, lusa, dan seterusnya, bisik Pak Torik dalam hati sambil tanganya menangadah pada sang pencipta alam raya. 


*) Rosyidah Purwo nama pena dari Narsiti. Staf pengajar di SMP AL IRSYAD AL ISLAMIYYAH Purwokerto.

Cerita ini sudah dibukukan dalam antologi cerpen Simpfoni Kerinduan. Cetakan sudah ada di perpustakaan SMP Al Irsyad Al Islamiyyah Purwokerto. Sudah diedit kembali dalam tulisan di blog ini.

Komentar

  1. Gambaran kondisi orang kecil yg dikemas apik.
    Endingnya keren. Menyadarkan kita, kadang orang hanya melihat dari sebelah sisi. Astaghfirullah....

    BalasHapus
    Balasan
    1. mudah2an para generasi Z adalah generasi yang peka dgn kondisi sosial sekitar selain melek IT

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Layung

sumber gambar: SW Puspakurnai Pentigraf: Rosyidah Purwo Eyang Wardem berpesan kepada cucu tercintanya. Bunyi pesan itu adalah jangan keluar rumah saat layung jembrang atau layung sembrana sedang keluar. Kalau orang masa kini menyebutnya dengan istilah lembayung senja. Alasnnya sungguh aneh, adalah agar tidak terkena penyakit belek. Sebagai cucu yang baik, ia mengikuti saja kemauan Eyang tercintanya. Ia mengetahui tentang penyakit belek ini ketika duduk di bangku kelas empat sekolah dasar. Pak guru menyampaikan bahwa penyakit belek penyebabnya ada beberapa macam. Salah satunya adalah karena virus dan bakteri. Beberapa penyebab lain tidak ada kaitanya sama sekali dengan fenomena alam yang maha indah itu. Jadi penyakit belek yang pernah ia derita saat masih kecil dulu, tidak ada kaitannya dengan Layung.  Karena saking indahnya lembayung senja petang hari itu, si cucu lupa dengan nasehat Eyang. Di halaman mushola tempat ia ngaji Iqro dan suratan pendek, ia berdiri terpukau melihat indahn

Ngising

Cerpen: Rosyidah Purwo*)   Pagi hari, udara masih terasa dingin. Suara gemericik air selokan terdengar indah. Airnya yang jernih menambah indahnya suasana pagi itu.  Semburat mentari mulai terlihat di ufuk timur. Suara kicau burung dan sesekali katak bersahutan. Petani padi terlihat beberapa sedang mengaliri air.  Hijaunya persawahan membentang sepanjang mata memandang. Benar-benar pagi hari yang sempurna. “Ibu, aku ngising ” suara si Sungsu membuyarkan lamunan seorang ibu muda yang tengah asyik bercengkerama dengan kegiatan di dapur pagi itu.  Cekrek cekrek cekrek, terdengar suara seperti kamera beroperasi.  “Mas, kamu sedang apa?!” tanya ibu muda dari dapur dengan setengah berteriak. “Sedang membuat karya, Bu!” sahut si Sulung. Ia  masuk ke dalam rumah selepas menunaikan hajat alamnya pagi itu.  Entah mengapa, ia sangat suka melakukan rutinitas yang satu itu di selokan belakang rumah. Padahal closet di rumah ada.  “Mas,” sapa ibu muda itu, “mengapa kamu suka sekali buang hajat di sel

PUJI-PUJIAN; BUKAN TENTANG BAIK ATAU TIDAK, TAPI TENTANG KEBUTUHAN

  https://indonesiainside.id/risalah/2019/12/19/membawa-hp-saat-salat-berjamaah Banyak kisah di dalam masyarakat tentang seputar -jeda waktu menunggu imam datang- saat sholat jamaah di dalam masjid. Ada yang menggunakannya untuk melantunkan puji-pujian, ada yang menggunakanya untuk ngobrol asyik, ada yang menggunakannya untuk merenungi keagungan Allah SWT, ada yang menggunakanya untuk berselancar dengan dunia maya (meski tidak mayoritas, tapi hampir banyak yang melakukanya). Ada yang menggunaknya untuk nge- game  (meski tidak banyak). Ada pula sebuah kisah tentang orang yang dikafirkan oleh temannya sendiri karena melantunkan puji-pujian di dalam masjid saat menunggu imam datang untuk jamaah shalat. Ada pula kisah tentang seorang jamaah dengan enggan memagang mushaf sambil menunggu sholat jamaah didirikan walau tidak dibaca. Banyak pula kisah tentang mereka yang mampu menyelesaikan membaca quran sampai beberapa halaman. Apapun kisah yang muncul di tengah masyarakat, semua ini nyata dan