Langsung ke konten utama

Menjadi Panutan

sumber gambar: daruttahiid.org

Oleh: Narsiti

Pada sebuah obrolan kecil dalam sebuah group WA seorang teman mengeluhkan keprihatinannya kepada salah satu anak didiknya yang ia temui pada salah satu acara tasyakuran pernikahan saudara. Rupa-rupanya saudara teman saya ini memiliki putra yang berteman dengan muridnya.

Dalam obrolan pada group WA tersebut, teman saya mengeluhkan tentang penampilan muridnya yang menurutnya aduhai sekali. Make-up yang cukuptebal, eye shadow yang terlihat tegas, lipstick merah merona mewarnai bibir cantiknya yang seharusnya belum waktunya. Ditambah dengan pakaian serba minimalis beserta jilbab pasangannya. Jika dipadu padankan sungguh indah sekali jika dikenakan pada orang dewasa. Akan tetapi ini dikenakan pada anak yang belum masanya. 

Apalagi ditambah dengan tas jinjing minimalis, dan sandal selop high hill, aduhai indahnya. Dengan parfum yang sangat tajam dan membuat siapa yang mencium aromanya akan bekerja adrenalinnya.

Lepas dari masalah indah atau menarik, ini adalah hal yang tidak lazim bagi sekolah kami. Sekolah kami mengajarkan pada peserta didik untuk berpenampilan sederhana, tidak mencolok dan berlebihan. Sebagai guru, juga bukan sebuah maslah ketika memiliki keprihatinan dengan hal demikian. Apalagi jika guru yang bersangkutan adalah guru yang sangat patuh dengan aturan sekolah. Maka bisa menjadi masalah besar baginya melihat hal yang demikian.

Saya pun menyahut untuk memberi sedikit komentar yang cukup menohok. Sudahkan kita mampu menjadi panutan? Saat bibir kita berkata, wahai anak didiku, jangan tabarruj (dandan berlebihan). Sudahkah kita juga tidak dandan berlebihan? Saata kita memberi nasihat, tutup aurat dengan baik dimanapun berada, sudahkan kita melakukan? Anak-anak adalah masa dimana sangat suka dengan melalukan imitasi, bahkan saat masih usia baru lahir. 

Maka sebuah hal yang normal ketika anak melakukan imitasi pada tingkah laku orang dewasa. Memang, ada sebagian hal yang belum boleh dilakukan oleh anak-anak untuk meng-imitasi perilaku orang dewasa. Contoh: mengenakan pemerah bibir, make-up terlalu tebal, dan penampilan lain yang mengundang perhatian berlebihan orang lain.

Tugas orang dewasa adalah mendampingi anak-anak agar tidak sembarangan meng-imitasi perilaku orang dewasa.

Guru adalah sebuah tugas mulia dan berat. Tanggung jawab yang dipikul untuk menciptakan generasi unggul cukup berat. Menjadi teladan adalah hal utama, ketika anak didik memiliki aturan A maka guru juga sudah selayaknya memberikan contoh.

Memang bukan peran yang utama, karena peran yang utama adalah keluarga. Akan tetapi, karena sekolah adalah rumah ke dua bagi anak, tidak ada salahnya guru menjadi teladan bagi mereka.


Salam guru hebat, guru teladan❤️

Purwokerto, 22-02-24

Pojok Kelas 07.49 wib

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Layung

sumber gambar: SW Puspakurnai Pentigraf: Rosyidah Purwo Eyang Wardem berpesan kepada cucu tercintanya. Bunyi pesan itu adalah jangan keluar rumah saat layung jembrang atau layung sembrana sedang keluar. Kalau orang masa kini menyebutnya dengan istilah lembayung senja. Alasnnya sungguh aneh, adalah agar tidak terkena penyakit belek. Sebagai cucu yang baik, ia mengikuti saja kemauan Eyang tercintanya. Ia mengetahui tentang penyakit belek ini ketika duduk di bangku kelas empat sekolah dasar. Pak guru menyampaikan bahwa penyakit belek penyebabnya ada beberapa macam. Salah satunya adalah karena virus dan bakteri. Beberapa penyebab lain tidak ada kaitanya sama sekali dengan fenomena alam yang maha indah itu. Jadi penyakit belek yang pernah ia derita saat masih kecil dulu, tidak ada kaitannya dengan Layung.  Karena saking indahnya lembayung senja petang hari itu, si cucu lupa dengan nasehat Eyang. Di halaman mushola tempat ia ngaji Iqro dan suratan pendek, ia berdiri terpukau melihat indahn

Ngising

Cerpen: Rosyidah Purwo*)   Pagi hari, udara masih terasa dingin. Suara gemericik air selokan terdengar indah. Airnya yang jernih menambah indahnya suasana pagi itu.  Semburat mentari mulai terlihat di ufuk timur. Suara kicau burung dan sesekali katak bersahutan. Petani padi terlihat beberapa sedang mengaliri air.  Hijaunya persawahan membentang sepanjang mata memandang. Benar-benar pagi hari yang sempurna. “Ibu, aku ngising ” suara si Sungsu membuyarkan lamunan seorang ibu muda yang tengah asyik bercengkerama dengan kegiatan di dapur pagi itu.  Cekrek cekrek cekrek, terdengar suara seperti kamera beroperasi.  “Mas, kamu sedang apa?!” tanya ibu muda dari dapur dengan setengah berteriak. “Sedang membuat karya, Bu!” sahut si Sulung. Ia  masuk ke dalam rumah selepas menunaikan hajat alamnya pagi itu.  Entah mengapa, ia sangat suka melakukan rutinitas yang satu itu di selokan belakang rumah. Padahal closet di rumah ada.  “Mas,” sapa ibu muda itu, “mengapa kamu suka sekali buang hajat di sel

PUJI-PUJIAN; BUKAN TENTANG BAIK ATAU TIDAK, TAPI TENTANG KEBUTUHAN

  https://indonesiainside.id/risalah/2019/12/19/membawa-hp-saat-salat-berjamaah Banyak kisah di dalam masyarakat tentang seputar -jeda waktu menunggu imam datang- saat sholat jamaah di dalam masjid. Ada yang menggunakannya untuk melantunkan puji-pujian, ada yang menggunakanya untuk ngobrol asyik, ada yang menggunakannya untuk merenungi keagungan Allah SWT, ada yang menggunakanya untuk berselancar dengan dunia maya (meski tidak mayoritas, tapi hampir banyak yang melakukanya). Ada yang menggunaknya untuk nge- game  (meski tidak banyak). Ada pula sebuah kisah tentang orang yang dikafirkan oleh temannya sendiri karena melantunkan puji-pujian di dalam masjid saat menunggu imam datang untuk jamaah shalat. Ada pula kisah tentang seorang jamaah dengan enggan memagang mushaf sambil menunggu sholat jamaah didirikan walau tidak dibaca. Banyak pula kisah tentang mereka yang mampu menyelesaikan membaca quran sampai beberapa halaman. Apapun kisah yang muncul di tengah masyarakat, semua ini nyata dan