Langsung ke konten utama

THE NAME IS DEW

sumber gambar: kapanlagi.com

Gadis kecil itu masih duduk terdiam di depan meja komputer. Bola matanya bergerak-gerak mengikuti irama kursors yang menari-nari pada layar komputer. Komputer milik mas Panji yang sudah tidak digunakan lagi. Mas Panji, anaknya Budhe yang pertama.

Jarum jam sudah menunjukkan pukul 23.00 wib. Ia masih giat menggerakan jari jemari lentiknya di atas keybord.

“Nduk, jangan terlalu larut ya?” pesan Budhe nya.

“Nggih, Dhe” jawabnya sopan.

Masih lima puluh sembilan detik menuju deadline pengiriman naskah. Meskipun mata sudah mengantuk, ia masih giat menyelesaikan tugasnya.

Bismillah, mudah-mudah tulisan ini menemui takdir baiknya, doanya lirih.

Sebuah alamat email majalah Bobo ia buka, naskah terkirim sudah. Selesai dikirim, ia bergegas menuju kamar tidur untuk beristirahat.

***

Hari Minggu adalah jadwal rutin Kana berkunjung ke rumah Budhe. Sudah sejak satu tahun lalu, setiap hari Minggu, Kana mengnjungi Budhe. Kebetulan Budhe tinggal sendirian di rumah.

Pakdhe sudah lama menghadap sang pencipta. Sementara dua anak-anak Budhe sudah tidak lagi tinggal bersama. Mereka memilih tinggal di luar kota karena pekerjaan.

Kana yang memiliki hobi membaca, sangat betah di sana karena banyak buku bacaan. Buku-buku pengetahuan, komik, novel, ada juga majalah anak seperti Bobo. Bacaan yang paling ia sukai adalah majalah Bobo dan komik.

Mimpi agar tulisannya dimuat di majalah Bobo, membuat semangat membaca dan menulisnya sangat tinggi.

Walaupun jarak rumah Budhe cukup jauh, namun semangat belajarnya yang gigih, tidak membuat ia berat hati berkunjung ke sana. Waktu tempuh menuju rumah Budhe kurang lebih lima belas menit menggunakan sepeda onthel.

***

“Sudah berapa banyak tulisan yang kamu kirim, Nduk?” tanya Budhe.

“Pekan kemarin adalah yang ke seratus, Dhe…” jawabnya serius, dengan wajahnya yang tetap menatap halaman demi halaman majalah Bobo terbaru.

Ia terlonjak dari duduknya. Kaget, melihat sebuah judul tulisan sama dengan judul tulisan miliknya yang ia kirim satu pekan lalu. Wajahnya merah padam, senyum antara bahagia, tidak percaya, kaget, campur aduk menjadi satu.

The Name Is Dew, matanya berulang kali menatap judul tulisan itu. Bola mata ia gerakan ke bawah ke atas ke samping diikuti gerakan kepalanya. Setelah selesai ia membaca kembali tulisan itu. 

Benarkah ini tulisanku? Gumamnya dalam hati. Setalah membaca bionarasi di akhir tulisan, baru ia percaya, kalau itu adalah tulisan miliknya.

Budhe yang dari tadi memerhatikan dari dapur, ikut penasaran dengan sikap keponakan satu-satunya itu.

“Ada apa, Kana?” tanyanya lembut dan penuh perhatian.

Kana yang sedang duduk di sofa ruang tamu berlari memeluk pinggangnya.

“Tulisan saya dimuat Budheeeeee…!” katanya bahagia dan haru. 

Budhe ikut bahagia mendengarnya. Ia buru-buru mengambil majalah Bobo yang dipegang Kana. Ia ikut membaca tulisan pada halaman yang ditandai oleh Kana. 

“Bagus juga tulisan kamu, Kana?” puji Budhenya dengan senyumnya yang mengembang. Kana hanya tersenyum bahagia mendengar pujian dari Budhe.

“Usaha itu tidak akan mengkhianati hasil, Kana”. Kata Budhe, Kana mengangguk setuju.

“Setelah usahamu mengirim tulisan berkali-kali ditolak, akhirnya hari ini menuai hasilnya, Budhe bangga kepadamu, Kana”.

Buru-buru Budhe mengambil telepon genggam miliknya. Sebuah nomor ia hubungi, ia berbicara dengan orang di kejauhan sana.

“Mas Panji mau ngobrol sama kamu, Kana”.

Mas Panji adalah putra Budhe yang pertama.

Budhe menyerahkan telepon genggam pada Kana. Kana terlihat berbicara cukup serius. Tidak lama telepon ditutup.

“Budheeeeeee, Kana mau dibelikan laptop sama Mas Panjiii!” Kana menghambur pada Budhe yang masih asyik memasak di dapur.

Alhamdulillah, terimakasih ya Allah atas kasih sayang yang telah Engkau berikan, doanya lirih dalam hati. Air mata haru dan bahagia menyembul dari dua kelopak mata gadis cilik itu.

Kana  berpamitan pulang. Dengan gontai dan senyum tersungging penuh bahagia ia keluar rumah. Perlahan sepeda dikayuh.






*)Sedang dikutkan dalam lomba menulis cerpen tema Impian yang diadakan oleh SIP Publishing

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Layung

sumber gambar: SW Puspakurnai Pentigraf: Rosyidah Purwo Eyang Wardem berpesan kepada cucu tercintanya. Bunyi pesan itu adalah jangan keluar rumah saat layung jembrang atau layung sembrana sedang keluar. Kalau orang masa kini menyebutnya dengan istilah lembayung senja. Alasnnya sungguh aneh, adalah agar tidak terkena penyakit belek. Sebagai cucu yang baik, ia mengikuti saja kemauan Eyang tercintanya. Ia mengetahui tentang penyakit belek ini ketika duduk di bangku kelas empat sekolah dasar. Pak guru menyampaikan bahwa penyakit belek penyebabnya ada beberapa macam. Salah satunya adalah karena virus dan bakteri. Beberapa penyebab lain tidak ada kaitanya sama sekali dengan fenomena alam yang maha indah itu. Jadi penyakit belek yang pernah ia derita saat masih kecil dulu, tidak ada kaitannya dengan Layung.  Karena saking indahnya lembayung senja petang hari itu, si cucu lupa dengan nasehat Eyang. Di halaman mushola tempat ia ngaji Iqro dan suratan pendek, ia berdiri terpukau melihat indahn

Ngising

Cerpen: Rosyidah Purwo*)   Pagi hari, udara masih terasa dingin. Suara gemericik air selokan terdengar indah. Airnya yang jernih menambah indahnya suasana pagi itu.  Semburat mentari mulai terlihat di ufuk timur. Suara kicau burung dan sesekali katak bersahutan. Petani padi terlihat beberapa sedang mengaliri air.  Hijaunya persawahan membentang sepanjang mata memandang. Benar-benar pagi hari yang sempurna. “Ibu, aku ngising ” suara si Sungsu membuyarkan lamunan seorang ibu muda yang tengah asyik bercengkerama dengan kegiatan di dapur pagi itu.  Cekrek cekrek cekrek, terdengar suara seperti kamera beroperasi.  “Mas, kamu sedang apa?!” tanya ibu muda dari dapur dengan setengah berteriak. “Sedang membuat karya, Bu!” sahut si Sulung. Ia  masuk ke dalam rumah selepas menunaikan hajat alamnya pagi itu.  Entah mengapa, ia sangat suka melakukan rutinitas yang satu itu di selokan belakang rumah. Padahal closet di rumah ada.  “Mas,” sapa ibu muda itu, “mengapa kamu suka sekali buang hajat di sel

PUJI-PUJIAN; BUKAN TENTANG BAIK ATAU TIDAK, TAPI TENTANG KEBUTUHAN

  https://indonesiainside.id/risalah/2019/12/19/membawa-hp-saat-salat-berjamaah Banyak kisah di dalam masyarakat tentang seputar -jeda waktu menunggu imam datang- saat sholat jamaah di dalam masjid. Ada yang menggunakannya untuk melantunkan puji-pujian, ada yang menggunakanya untuk ngobrol asyik, ada yang menggunakannya untuk merenungi keagungan Allah SWT, ada yang menggunakanya untuk berselancar dengan dunia maya (meski tidak mayoritas, tapi hampir banyak yang melakukanya). Ada yang menggunaknya untuk nge- game  (meski tidak banyak). Ada pula sebuah kisah tentang orang yang dikafirkan oleh temannya sendiri karena melantunkan puji-pujian di dalam masjid saat menunggu imam datang untuk jamaah shalat. Ada pula kisah tentang seorang jamaah dengan enggan memagang mushaf sambil menunggu sholat jamaah didirikan walau tidak dibaca. Banyak pula kisah tentang mereka yang mampu menyelesaikan membaca quran sampai beberapa halaman. Apapun kisah yang muncul di tengah masyarakat, semua ini nyata dan