Langsung ke konten utama

BENANG MERAH

 

sumber gambar website bimbingan islam

Cerpen: Rosyidah Purwo*) 

Perempuan itu melirik tajam pada laki-laki yang berdiri di sampingnya. Hamparan sawah yang membentang luas dengan semburat mentari jingga di pagi hari dan kicau burung-burung serta capung yang beterbangan, tidak menjadikanya jatuh hati pada indahnya suasana pedesaan pagi itu.

Embun pagi yang menempel di antara pohon-pohon padi yang sedang menguning, membasahi bagian bawah pakaian mereka. Udara pagi yang sejuk membelai-belai lembut wajah sepasang suami istri itu.

“Pa, gasik nemen?” sapa suami pada seorang laki-laki tua yang tiba-tiba melintas di pematang sawah di hadapan kami.

Uban putih sudah mulai memenuhi kepala laki-laki tua itu. Jenggot dan alis matanya terlihat mulai memutih. Wajahnya kuyu dan terlihat lelah, kulitnya hitam dan sudah mulai mengeriput. Celana pendek warna hitam selutut terlihat lapuk dan kusut. Ia berjalan dengan langkah cepat dan tergesa.

Kae wane agi tukaran (itu pak gedhe sedang bertengkar)”, jawabnya sedikit gugup. Saya dan suami manggut-manggut. Sebagi tetangga dari Uwa, saya paham sekali siapa yang sedang bertengkar dan dengan siapa bertengkar. Adalah keluarga pak Dhe anak-anak dari kakaknya eyang putri. 

Laki-laki itu memegang tali panjang yang terpasang sambung menyambung di tengah-tengah sawah. Ia menggerak-gerakan dengan kuat, saat tali temali bergerak, serta merta burung-burung kecil beterbangan dari balik pohon padi yang sedang menguning. Rupa-rupanya itu adalah alat tradisioal pengusir burung pemakan biji padi.

“Mas, ini sawahnya pak Dhe?” tanyaku pada suami.

“Iya” jawab suami datar, dilanjutkan dengan menunjukan siapa saja pemilik deretan sawah-sawah yang membentang di hadapan kami. Rupa-rupanya sawah-sawah ini adalah milik satu trah keluarga Pak Dhe beserta jajaran perangkat desa yang saat saya masih kecil menjabat.

“Mas, dinda mau cerita” kata saya ragu.

“Cerita apa, Dinda?” tanya suami pada saya.

“Ini, di sini, dari sini sampai ujung sana, dulu adalah sawah milik eyang putri”, kata saya terbata dan sedikit emosi, “saya paham betul, di sini adalah sawah milik eyang putri. Tiap kali panen, saya selalu mampir ke gubuk dengan pakain seragam sekolah masih menempel di badan” kataku menggebu dengan wajah berbinar mengingat kenangan indah masa lalu.

“Saya selalu makan siang di gubuk saat panen tiba. Luas sekali kan, Mas?” laki-laki yang saya panggil Mas hanya mengangguk kecil. Ada perasaan aneh yang merayap. Hati ini seolah tidak menerima respon laki-laki yang saya panggil, Mas.

Saya jadi teringat saat, saya dan suami membeli tanah yang berbatasan dengan tanah milik Uwa. Karena saat pengukuran dengan perangkat desa dan pemilik tanah, saya dan suami tidak ikut serta, ada sesuatu yang salah di sana. Hasil ukur dengan luas yang tertera dalam sertifikat sangat berbeda. Dua hari setelahnya, baru saya dan suami memahami, ternyata ada batas tanah kami yang digeser Uwa.

“Mas, masih ingat dengan peristiwa ukur tanah waktu itu?” tanya saya, sedikit kesal pada suami. Suami masih merespon dengan anggukan kecil dengan wajah kecut.

Saya berpaling darinya, enggan melihat wajah tampannya. Ada sesuatu yang mengganjal dalam lubuk hati saya.

“Apakah ada sesuatu yang aneh, Mas?” tanya saya kemudian. Saya ingin apa yang mengganjal dalam hati, segera terurai dan sirna. Suami hanya terdiam. Saya paham sepaham-pahamnya arti diamnya suami. 

Ia menghela nafas panjang. Mata sayunya menatap kosong pada hamparan sawah yang membentang luas dihadapanya. Seperti ada sesal yang dalam, ia mengajak saya pagi ini untuk menghirup udara pagi yang segar.

“Kita pulang saja, Mas” pintaku. Ia tetap bergeming dari tempat berdirinya.

“Dinda, paham kan tabiat pak Dhe?” tanyanya.

“Sedikit, Mas” jawab saya sengit pura-pura tidak memahaminya. Teringat peristiwa pemindahan batas tanah yang saya beli dengan tanah miliknya.

“Saya juga paham mengapa sawah eyang putri sekarang menjadi sempit, sesempit kuburan yang akan mereka terima nanti kalau sudah mati!” kata saya marah pada suami. Suami menggenggam tangan saya. Kemudian memeluk saya saya erat. Isak tangis yang saya tahan, menguar. Saya menangis sejadi-jadinya.

Teringat posisi sawah eyang putri yang sekarang berpindah di tempat yang sungguh siapa yang akan membeli saja harus berpikir seribu kali. Luasnya yang berkurang begitu banyak, dibandingkan dengan saat saya masih kecil dulu sungguh sangat berbanding terbalik dengan sawah milik pak Dhe sekarang.

Teringat saat eyang putri tergeletak sakit dengan badan kurus serta wajah tirusnya berkata lemah kepada saya tentang sawah yang hilang. Ia menangis di depan saya. Tidak ada yang bisa mencari tahu dan menolong karena anak-anak eyang putri adalah anak-anak biasa yang taat pada perintah agama dan tidak memiliki jabatan apa-apa. Hanya bisa pasrah menerima nasib. Sementara suami eyang putri sudah tidak ada. 

“Dinda, cukup Allah sebagai hakim yang maha adil. Jangan marah, jangan emosi…” kata suami menenangkan sambil memeluk erat.

“Iya, Mas, Dinda sadar akan itu, tapi Dinda tidak bisa menerima ketidak adilan ini. Dari dulu sampai eyang putri meninggal, tidak ada yang memabantu menyelesaikan masalah ini. Lokasi sawah yang dipindah, luas lahan yang berkurang sangat banyak” kataku masih emosi sambil masih menangis.

“Akhirnya pertanyaan yang selama bertahun-tahun mengganjal, ketemu sudah hari ini, benang merah itu sudah jelas di mata saya. Ternyata mereka yang melakukannya! kataku emosi sambil tangan saya memukul-mukul dada bidang suami.

Haruskah aku membalasnya?! Haruskah aku mengurus sampai ke pihak berwenang?! Haruskah?, haruskah?  Seribu pertanyaan bermunculan di benak saya.

“Dinda, apa yang Dinda pikirkan?” tanya suami kemudian. Seperti memehami kondisi batin saya.

Saya menghela nafas panjang, menatap kosong pada hamparan sawah luas dengan padi yang menguning di depan kami.

“Tidak ada, Mas” kata saya lirih, “kita pulang” lanjut saya.

Gemericik air selokan yang begitu jernih menemani langkah kaki menyusuri jalan pulang. Burung-burung beterbangan dengan kicau yang indah. Belalang dan capung-capung cantik beterbangan menghampiri, seekor kupu-kupu kecil warna kuning hinggap pada jilbab kaos coklat yang saya kenakan.


Suami menggandeng tangan dengan erat. Terlihat aktifitas petani padi di pagi hari, megairi sawah, mencangkul, mengusir burung, memetik kacang panjang di pinggiran sawah. Damai dan indahnya suasana kampung halaman.

Prang, buk, kedebuk! Suara ribut terdengar dari rumah Uwa. Sepertinya pertengkaran yang diceritakan memang betul-betul cukup seru. Terdengar suara perempuan dan anak kecil menangis keras. Seorang perempuan berkata kasar pada Uwa.

“Dinda, mau ke sana” kataku pada suami.

Terlihat suami menggeleng. Artinya tidak diperbolehkan. Kami memutuskan untuk masuk ke dalam rumah. Suara ribut pertengkaran Uwa dan istrinya masih terdengar.

***

Wahai Allah yang Maha sempurna, seperti Engkau menciptakan tubuh ini dengan begitu detail dan tanpa cacat, seperti itu pula Engkau memberi balasan perilaku tidak perpuji pada makhluk-makhluk-Mu.

Kami serahkan urusan ini pada-Mu wahai dzat yang Maha Sempurna. Dua rakat dhuha saya tunaikan. Rasa sejuk menjalar pada sekujur tubuh.

“Dinda, sepertinya kita perlu ke rumah Uwa” kata suami yang tiba-tiba muncul dari ruang tamu. Ia terlihat cemas.

Ada sedikit curiga, dari nada bicara seperti ada sesuatu yang serius.

“Buruan kita ke sana, bu Dhe minum baygon”.

                                                                                                                         Banyumas, 120423

                                                                                                                         21.48 wib

sedang diikutkan dalam lomba menulis cerpen bersama Asma Nadia

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Layung

sumber gambar: SW Puspakurnai Pentigraf: Rosyidah Purwo Eyang Wardem berpesan kepada cucu tercintanya. Bunyi pesan itu adalah jangan keluar rumah saat layung jembrang atau layung sembrana sedang keluar. Kalau orang masa kini menyebutnya dengan istilah lembayung senja. Alasnnya sungguh aneh, adalah agar tidak terkena penyakit belek. Sebagai cucu yang baik, ia mengikuti saja kemauan Eyang tercintanya. Ia mengetahui tentang penyakit belek ini ketika duduk di bangku kelas empat sekolah dasar. Pak guru menyampaikan bahwa penyakit belek penyebabnya ada beberapa macam. Salah satunya adalah karena virus dan bakteri. Beberapa penyebab lain tidak ada kaitanya sama sekali dengan fenomena alam yang maha indah itu. Jadi penyakit belek yang pernah ia derita saat masih kecil dulu, tidak ada kaitannya dengan Layung.  Karena saking indahnya lembayung senja petang hari itu, si cucu lupa dengan nasehat Eyang. Di halaman mushola tempat ia ngaji Iqro dan suratan pendek, ia berdiri terpukau melihat indahn

Ngising

Cerpen: Rosyidah Purwo*)   Pagi hari, udara masih terasa dingin. Suara gemericik air selokan terdengar indah. Airnya yang jernih menambah indahnya suasana pagi itu.  Semburat mentari mulai terlihat di ufuk timur. Suara kicau burung dan sesekali katak bersahutan. Petani padi terlihat beberapa sedang mengaliri air.  Hijaunya persawahan membentang sepanjang mata memandang. Benar-benar pagi hari yang sempurna. “Ibu, aku ngising ” suara si Sungsu membuyarkan lamunan seorang ibu muda yang tengah asyik bercengkerama dengan kegiatan di dapur pagi itu.  Cekrek cekrek cekrek, terdengar suara seperti kamera beroperasi.  “Mas, kamu sedang apa?!” tanya ibu muda dari dapur dengan setengah berteriak. “Sedang membuat karya, Bu!” sahut si Sulung. Ia  masuk ke dalam rumah selepas menunaikan hajat alamnya pagi itu.  Entah mengapa, ia sangat suka melakukan rutinitas yang satu itu di selokan belakang rumah. Padahal closet di rumah ada.  “Mas,” sapa ibu muda itu, “mengapa kamu suka sekali buang hajat di sel

PUJI-PUJIAN; BUKAN TENTANG BAIK ATAU TIDAK, TAPI TENTANG KEBUTUHAN

  https://indonesiainside.id/risalah/2019/12/19/membawa-hp-saat-salat-berjamaah Banyak kisah di dalam masyarakat tentang seputar -jeda waktu menunggu imam datang- saat sholat jamaah di dalam masjid. Ada yang menggunakannya untuk melantunkan puji-pujian, ada yang menggunakanya untuk ngobrol asyik, ada yang menggunakannya untuk merenungi keagungan Allah SWT, ada yang menggunakanya untuk berselancar dengan dunia maya (meski tidak mayoritas, tapi hampir banyak yang melakukanya). Ada yang menggunaknya untuk nge- game  (meski tidak banyak). Ada pula sebuah kisah tentang orang yang dikafirkan oleh temannya sendiri karena melantunkan puji-pujian di dalam masjid saat menunggu imam datang untuk jamaah shalat. Ada pula kisah tentang seorang jamaah dengan enggan memagang mushaf sambil menunggu sholat jamaah didirikan walau tidak dibaca. Banyak pula kisah tentang mereka yang mampu menyelesaikan membaca quran sampai beberapa halaman. Apapun kisah yang muncul di tengah masyarakat, semua ini nyata dan