Langsung ke konten utama

Burung Pipit, Pak Dapin, & Memedi Sawah

sumber gambar: fpp.umco.ac.id

Pentigraf: Rosyidah Purwo*)

Alat tradisional pengusir burung-burung pipit terdengar bersahutan. _Memedi sawah_ dari baju bekas dan plastik kresek yang digantungkan pada batang bambu bergoyang-goyang ditiup angin. Segerombolan burung pipit menyeruak keluar dari tengah-tengah hamparan sawah dengan padi-padi yang sudah menguning. Suara pak Dapin terdengar keras dan lantang. Khas suara pak tani yang mengusir burung-burung pemakan biji padi. Pak Dapin melakukanya agar biji padi di sawah tidak habis dimakan burung pipit. Juragan pemilik sawah pastinya tidak mau tahu dengan kondisi ini. Ia hanya mau tahu apakah hasil panennya melimpah atau tidak.

Pak Dapin, berjalan tergopoh sore hari itu. _Memedi sawah_ yang ia buat satu bulan lalu telah lenyap entah ke mana. Rasa takut menghantui dirinya. Ia ogah kembali ke rumah rumah karena rasa bersalah yang terlalu dalam. Ia sudah membayangkan betapa marahnya _juragane_ kalau hasil padi kali ini tidak sebanding dengan modal yang sudah  dikeluarkan. Lebih parah lagi adalah apabila ia tidak mendapat jatah padi untuk makan anak istri. Pak Dapin duduk terpekur sambil membayangkan nasib buruk yang akan menimpa dirinya dan keluarga. Atas bujukan istrinya, pak Dapin memberanikan diri menuju rumah _juragane_. 

Dengan langkah berat ia berjalan gontai menuju rumah _juragane_. Pintu rumah warna coklat natural terbuat dari kayu jati pilihan ia ketuk perlahan. Menyisakan sedikit rasa sakit pada ruas jari tengahnya. Ia tampak gelisah. Terlihat _juragane_ menyilakan ia masuk, lalu duduk di emperan samping rumah. Mereka duduk di kursi kayu panjang yang biasa digunakan untuk _dopokan_ tamu-tamunya yang menggarap sawah dan ladang miliknya. Pak Dapin mengutarakan maksut dari kedatanganya. Ia bercerita perihal _memedi sawah_ yang hilang. Betapa kaget pak Dapin kalau yang membuang _memedi sawah_ adalah _juragane_. Ia berkata kalau di sawahnya masih dipasang _memedi sawah_ sawah menjadi tidak kekinian dan terlihat jorok serta kumuh.  _Juragane_ tidak ingin medsosnya terlihat buruk dimata penggemarnya.

*)Rosyidah Purwo. Nama pena dari Narsiti

Purwokerto

30-01-24

09.46 wib

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Layung

sumber gambar: SW Puspakurnai Pentigraf: Rosyidah Purwo Eyang Wardem berpesan kepada cucu tercintanya. Bunyi pesan itu adalah jangan keluar rumah saat layung jembrang atau layung sembrana sedang keluar. Kalau orang masa kini menyebutnya dengan istilah lembayung senja. Alasnnya sungguh aneh, adalah agar tidak terkena penyakit belek. Sebagai cucu yang baik, ia mengikuti saja kemauan Eyang tercintanya. Ia mengetahui tentang penyakit belek ini ketika duduk di bangku kelas empat sekolah dasar. Pak guru menyampaikan bahwa penyakit belek penyebabnya ada beberapa macam. Salah satunya adalah karena virus dan bakteri. Beberapa penyebab lain tidak ada kaitanya sama sekali dengan fenomena alam yang maha indah itu. Jadi penyakit belek yang pernah ia derita saat masih kecil dulu, tidak ada kaitannya dengan Layung.  Karena saking indahnya lembayung senja petang hari itu, si cucu lupa dengan nasehat Eyang. Di halaman mushola tempat ia ngaji Iqro dan suratan pendek, ia berdiri terpukau melihat indahn

Ngising

Cerpen: Rosyidah Purwo*)   Pagi hari, udara masih terasa dingin. Suara gemericik air selokan terdengar indah. Airnya yang jernih menambah indahnya suasana pagi itu.  Semburat mentari mulai terlihat di ufuk timur. Suara kicau burung dan sesekali katak bersahutan. Petani padi terlihat beberapa sedang mengaliri air.  Hijaunya persawahan membentang sepanjang mata memandang. Benar-benar pagi hari yang sempurna. “Ibu, aku ngising ” suara si Sungsu membuyarkan lamunan seorang ibu muda yang tengah asyik bercengkerama dengan kegiatan di dapur pagi itu.  Cekrek cekrek cekrek, terdengar suara seperti kamera beroperasi.  “Mas, kamu sedang apa?!” tanya ibu muda dari dapur dengan setengah berteriak. “Sedang membuat karya, Bu!” sahut si Sulung. Ia  masuk ke dalam rumah selepas menunaikan hajat alamnya pagi itu.  Entah mengapa, ia sangat suka melakukan rutinitas yang satu itu di selokan belakang rumah. Padahal closet di rumah ada.  “Mas,” sapa ibu muda itu, “mengapa kamu suka sekali buang hajat di sel

PUJI-PUJIAN; BUKAN TENTANG BAIK ATAU TIDAK, TAPI TENTANG KEBUTUHAN

  https://indonesiainside.id/risalah/2019/12/19/membawa-hp-saat-salat-berjamaah Banyak kisah di dalam masyarakat tentang seputar -jeda waktu menunggu imam datang- saat sholat jamaah di dalam masjid. Ada yang menggunakannya untuk melantunkan puji-pujian, ada yang menggunakanya untuk ngobrol asyik, ada yang menggunakannya untuk merenungi keagungan Allah SWT, ada yang menggunakanya untuk berselancar dengan dunia maya (meski tidak mayoritas, tapi hampir banyak yang melakukanya). Ada yang menggunaknya untuk nge- game  (meski tidak banyak). Ada pula sebuah kisah tentang orang yang dikafirkan oleh temannya sendiri karena melantunkan puji-pujian di dalam masjid saat menunggu imam datang untuk jamaah shalat. Ada pula kisah tentang seorang jamaah dengan enggan memagang mushaf sambil menunggu sholat jamaah didirikan walau tidak dibaca. Banyak pula kisah tentang mereka yang mampu menyelesaikan membaca quran sampai beberapa halaman. Apapun kisah yang muncul di tengah masyarakat, semua ini nyata dan