Langsung ke konten utama

Tulus Satu Detik=Ramah yang Dibuat-Buat

sumber gambar: google colab


Beberapa hari lalu, saat ada kegiatan rapat general, pimpinan tempat kami mengabdikan ilmu untuk para generasi tunas ilmu menyampaikan evaluasi terkait dengan sikap beberapa guru yang tidak ramah kepada tamu.

Evaluasi yang diberikan adalah guru harus memiliki sikap ramah kepada siapapun tanpa pandang bulu. Sebenarnya sikap seperti ini juga sudah diajarkan pula oleh baginda Nabi Agung Muhammad SAW. Bahwa _tabssumuka fi wajhi akhika shodaqotun_ تَبَسُّمُكَ فِى وَجْهِ أَخِيْكَ لَكَ صَدَقَةٌ.


Senyum yang dimaksut adalah senyum yang membawa perasaan bahagia bagi para lawan bicaranya, buka senyum yang membuat orang lain penasaran atau malah ketakutan. Itu bukan shodaqoh, kata bang Adi Hidayat.


Karena evaluasi ini saya jadi teringat beberapa kenangan tahun silam. Saat saya masih sangat polos dengan dunia kerja, betapa mudahnya memberi senyuman yang sangat tulus kepada orang lain. Bahkan ada yang merasa kehilangan senyuman saya yang dulu.


Eh, senyuman saya yang dulu memangnya seperti apa ya? Saya sendiri juga tidak paham. Menurut pendapat orang lain saya yang dulu adalah ramah dan suka bicara. Adu du du. Ternyata seperti itu ya? Rupa-rupanya senyum ramah dan tulus itu bisa menguar sejalan dengan pengalaman hidup.


Saat senyuman tulus kita dianggap remeh dan dianggap aneh, so pasti akan memberikan bekas atau kenangan tersensiri.


Saya adalah gadis yang menurut orang lain memiliki senyum tulus, lembut, pemaaf, dan mudah terlarut dalam suasana haru. Akan tetapi setelah saya terjun dalam dunia kerja, sikap murah senyum, lembut, dan pemaaf sedikit demi sedikit mulai pudar. Beruntung belum hilang sama sekali.


Yah, tak lain dan tak bukan ini dikarenakan ada pengalaman buruk saat bersentuhan dengan orang lain.


Pengalaman menyakitkan berulang kali dari hati seorang gadis yang masih polos rupa-rupanya cukup membekas dan menyisakan sikap yang 160° berbalik arah menjadi gadis yang susah sekali untuk ramah kepada orang lain.


Senyum ramah buatan atau saya menamainya dengan istilah "tulus satu detik" sekarang menjadi milik saya.


Mengapa? 'Sakit’ berulang atas respon orang lain yang ala kadarnya atas senyum tulus nan ramah yang saya berikan, telah meninggakan sketsa lukisan hati dalam bayang kehidupan yang sarat dengan hiruk pikuk tuntutan duniawi.




Narsiti
Purwokerto
250124
11.22 wib

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Layung

sumber gambar: SW Puspakurnai Pentigraf: Rosyidah Purwo Eyang Wardem berpesan kepada cucu tercintanya. Bunyi pesan itu adalah jangan keluar rumah saat layung jembrang atau layung sembrana sedang keluar. Kalau orang masa kini menyebutnya dengan istilah lembayung senja. Alasnnya sungguh aneh, adalah agar tidak terkena penyakit belek. Sebagai cucu yang baik, ia mengikuti saja kemauan Eyang tercintanya. Ia mengetahui tentang penyakit belek ini ketika duduk di bangku kelas empat sekolah dasar. Pak guru menyampaikan bahwa penyakit belek penyebabnya ada beberapa macam. Salah satunya adalah karena virus dan bakteri. Beberapa penyebab lain tidak ada kaitanya sama sekali dengan fenomena alam yang maha indah itu. Jadi penyakit belek yang pernah ia derita saat masih kecil dulu, tidak ada kaitannya dengan Layung.  Karena saking indahnya lembayung senja petang hari itu, si cucu lupa dengan nasehat Eyang. Di halaman mushola tempat ia ngaji Iqro dan suratan pendek, ia berdiri terpukau melihat indahn

Ngising

Cerpen: Rosyidah Purwo*)   Pagi hari, udara masih terasa dingin. Suara gemericik air selokan terdengar indah. Airnya yang jernih menambah indahnya suasana pagi itu.  Semburat mentari mulai terlihat di ufuk timur. Suara kicau burung dan sesekali katak bersahutan. Petani padi terlihat beberapa sedang mengaliri air.  Hijaunya persawahan membentang sepanjang mata memandang. Benar-benar pagi hari yang sempurna. “Ibu, aku ngising ” suara si Sungsu membuyarkan lamunan seorang ibu muda yang tengah asyik bercengkerama dengan kegiatan di dapur pagi itu.  Cekrek cekrek cekrek, terdengar suara seperti kamera beroperasi.  “Mas, kamu sedang apa?!” tanya ibu muda dari dapur dengan setengah berteriak. “Sedang membuat karya, Bu!” sahut si Sulung. Ia  masuk ke dalam rumah selepas menunaikan hajat alamnya pagi itu.  Entah mengapa, ia sangat suka melakukan rutinitas yang satu itu di selokan belakang rumah. Padahal closet di rumah ada.  “Mas,” sapa ibu muda itu, “mengapa kamu suka sekali buang hajat di sel

PUJI-PUJIAN; BUKAN TENTANG BAIK ATAU TIDAK, TAPI TENTANG KEBUTUHAN

  https://indonesiainside.id/risalah/2019/12/19/membawa-hp-saat-salat-berjamaah Banyak kisah di dalam masyarakat tentang seputar -jeda waktu menunggu imam datang- saat sholat jamaah di dalam masjid. Ada yang menggunakannya untuk melantunkan puji-pujian, ada yang menggunakanya untuk ngobrol asyik, ada yang menggunakannya untuk merenungi keagungan Allah SWT, ada yang menggunakanya untuk berselancar dengan dunia maya (meski tidak mayoritas, tapi hampir banyak yang melakukanya). Ada yang menggunaknya untuk nge- game  (meski tidak banyak). Ada pula sebuah kisah tentang orang yang dikafirkan oleh temannya sendiri karena melantunkan puji-pujian di dalam masjid saat menunggu imam datang untuk jamaah shalat. Ada pula kisah tentang seorang jamaah dengan enggan memagang mushaf sambil menunggu sholat jamaah didirikan walau tidak dibaca. Banyak pula kisah tentang mereka yang mampu menyelesaikan membaca quran sampai beberapa halaman. Apapun kisah yang muncul di tengah masyarakat, semua ini nyata dan